Search

Yudian Wahyudi: Intelektual Ptkin Fenomenal yang Saya Kenal - Klikanggaran

I

PTKIN merupakan organisasi kolekium pendidikan di bawah Kementrian Agama terbesar di Indonesia. Bahkan Azyumardi Azra berani mengatakannya paling besar di dunia. Bayangkan di hampir seluruh Indonesaia telah berdiri universitas (UIN), Institut (IAIN) dan Sekolah Tinggi (STAIN). Alumninya pun dalam berbagai bidang tersebar di seluruh lapangan kehidupan. Sejak mereka menjadi guru/dosen, Guru Besar, Rektor, pemikir/cendekiawanKepala Kantor Kementrian, kiyai/ulama/Pimpinan Pesantren, politisi , pengusaha, Ketua DPR RI hingga mentri atau pejabat setingkat mentri.

Di antara alumni PTKIN yang telah menduduki jabatan Ketua DPR RI adalah DR. Ade Komaruddin ( Alumni UIN/IAIN Syahid Jakarta). Nur Hidayat Wahid, Ketua MPR RI (Alumni IAIN/UIN Jogjakarta). Adapun yang menteri adalah Drs. Syamsul Maarif, Mentri Komunikasi dan Informasi ( Alumni IAIN Banjar Masin), Alwi Shihab Menteri Luar Negeri RI ( Alumni IAIN/UIN Alauddin Makasar), alumni yang menduduki jabatan Ketua KPU Pusat adalah Prof DR . KH. Hafiz Anshori ( Alumni IAIN/UIN Banjarmasin) dan yang menduduki jabatan setingkat menteri, Prof Dr KH Yudian Wahyudi ( Alumni IAN/ UIN Sunan Kali Jaga Jogjakarta).

Sementara Profesor Mukti Ali adalah tokoh fenomenal yang pernah menjadi Menteri Agama. Ia bukan Alumni PTKIN tetapi tokoh / pemikir yang paling gigih dan berjasa dalam memperjuangkan suksesnya PTKIN. Prof Dr.Quraish Shihab . Mantan Rektor IAIN/UIN Syahid Jakarta , bukan alumni, ia pernah Menteri Agama RI, tetapi ia sangat berjasa dalam membangun konstruksi pemikiran dan metodologi tafsir al Quran di lingkungan PTKIN. Termasuk Prof Dr .Harun Nasution ( Mantan Rektor IAIN/UIN Syahid Jakarta) yang bukan menteri tetapi cendekiawan legendaris sekaligus maestro pembaharu pemikiran Islam yang telah berhasil membesarkan nama PTKIN. Selain menteri dan pemikir PTKIN juga telah melahirkan pengusaha nasional yaitu Prof. Dr. Musa Asyari ( Alumni IAIN/UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta) dan Prof HC Dahlan Iskan ( Alumni IAIN Samarinda).

Tanpa bermaksud mengabaikan para tokoh fanomenal di atas yang sudah lending jejak kaki pencerahannya, tulisan sederhana ini akan mencoba mengekplorasi pemikiran Yudian Wahyudi yang baru- baru ini namanya fenomenal dan terkenal setelah dilantik oleh Persiden RI Jokowi sebagai pejabat setingkat Menteri , Kepala BPIP ( Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).

II

Yudian Wahyudi (selanjutnya disebut Yudian) lahir di Balikpapan , 17 April 1960. Belajar di Madrasah Darut Ta’lim Kampung Damai, Balikpapan. Lulus sekolah SD di Balikpapan dan Termas tahun 1972/1973. Di Pesantren Termas, Pacitan dan Almunawir Kerapyak Jogjakarta lulus tahun 1978/1979. Sarjana Muda dan lengkap ditempuh di Fakuktas Syari’ah IAIN Kalijaga tahun 1982 dan 1987. BA bidang filsafat ditempuh di UGM Fakultas Filsafat tahun 1988

Usai mengikuti pembibitan dosen di Semarang, Yudian melanjukna studi program magister di Mc Gill University, Montreal, Kanada , 1993 dan berhasil mempertahankan tesis dengan judul, “Hasbi’s Theory of Ijtihad in the Context of Indonesia Fiqh”. Di Perguruan Tinggi yang sama, ia lulus meraih Ph.D Islamic Studies tahun 2002 dengan judul disertasi, “The Slogan ‘Back to the Quran and Sunna’ : A Comperative Study of the Responces of Hasan Hanafi, Muhammad ‘Abd al- Jabiri and Nurcholish Madjid “.

Selama Visiting Scholar di Harvard Law School, Boston . USA tahun 2002-2004, Yudian banyak menulis makalah untuk dipresentasikan di sejumlah konfrensi di lima benua dan di tiga kampus terbesar dunia (Harvard, Yale dan Princeton). Ia menerbitkan buku 52 terjemahan buku filsafat dan keislaman dari bahasa Arab, Inggris dan Perancis. Selain publikasi internasional, Yudian telah menulis buku sebanyak delapan di bidang filsafat hukum Islam dan bidang politik.    

 Di luar negeri, Yudian memimpin organisasi Persatuan Mahasiwa Indonesia-Kanada, Persiden Pendiri Indonesia Academic Society. Setelah di Inodensia, Yudian dipercaya memimpin jabatan akademik dan ormas antara lain : Kepala Pusat Penelitian Sain Al- Quran Jawa Tengah , Wakil Rais Syuriah PW NU, DIY. Dekan Fakuktas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga ( 2007-2011). Rektor UIN Sunan Kalijaga ( 2016 -2021). Terakhir di tahun 2020 ini Yudian dilantik sejabat setingkat menteri sebagai Kepala BPIP.

III

Saat menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga , Yudian terkenal banyak kelakar dan lelucon dengan sesama rekan Rektor. Ia suka berbicara terbuka dan ceplas- ceplos yang kerap mengundang gelak tawa rekan sejawat Rektor. Di tengah canda ria yang mengasyikkan, ia juga tidak meninggalkan sikap seriusnya dan piawai memikat lingkaran diskusi di sela- sela pertemuan nasional forum Rektor .

Diskusinya tidak tanggung bertemakan filsafat hukum islam, politik, tasawuf dan tarekat. Para rektor terundang ikut nimbrung bisa berjumlah lima orang dan bahkan mencapai sepuluh orang. Diskusi diurai sejak tema pemikiran Cak Nur, Al- Jabiri, Hasan Hanafi hingga sampai pemikir kelasik al- Ghozali, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Kelemahan dan kelebihan para pemikir itu ia kemukakan degan detail dan faseh. Bahkan terkadang menyerempet dengan tanpa ragu mengungkap kelemahan dan kekeliruan teori tokoh/pemikir islam nasional.

Di diskusi yang bercampur senda gurau itu, tersirat pengakuan mengejutkan dari Yudian bahwa dirinya kerap tidak disukai dan dihambat bila mengikuti seleksi jabatan. Suatu ketika, ujar Yuduan, beberapa senior menghembuskan informasi ke teman dekatnya kalau yudian yang terpilih Rektor kampus akan hancur oleh karena watak calon yang keras selalu terjadi ketegangan dan ketegangan.   Mendengar cerita itu, Yudian tidak marah dan tetap tenang sambil melaksanakan salat hajat dan mengamalkan doa-doa aliran tarikat Sunan Anbiya yang didirikannya dalam rangka membangun pesantren Nawasea yang dicita- citakannya.

Berkat amalan tarikatnya, lanjut Yudian, pesantren berhasil dibangun dan Rektor pun terpilih. Meskipun saat asesment di Kementrian pusat , Yudian mengakui masih terasa dihambat karena disudutkan dengan pertanyaan bernada marah yang diajukan oleh salah seorang guru besar yang mengujinya. Seperti diungkapkan dalam bukunya , Jihad Ilmiah Dari Harvard ke Yale dan Princton, prediksi negatif yang diutarakan dua senior guru besar itu gagal total. Sejak saya dilantik Rektor, tegas Yudian, demo mahasiswa hanya terjadi satu kali. Dosen pun tidak pernah demo. Laporan pertanggunganjawaban Rektor setiap tahunnya lancar. Tidak ada penolakan.

Kenyataan terjadi sebaliknya, saya justru, menjadi pemersatu minimal di kalangan tiga organisasi. Nama- nama tokoh “tradsionalis” ( NU) dan “modernis” (Muhamadiyah) dan KHMI diabadikan secara adil dalam penamaan 25 gedung. Contohnya Gedung Prof K.H.Saifuddin Zuhri representasi NU. Gedung Prof Mukti Ali representasi Muhammadiyah/ KAHMI. Gedung Prof DR Amin Abdullah dan gedung Prof Dr. Machasin, M.A masing- masing merepresentasikian tokoh muda yang masih hidup dari kalangan Muhammadiyah dan NU. Tulis Yudian dalam buku tersebut.

Usai Yudian matanya berkaca- kaca bercerita panjang tentang tuduhan negatif yang selama ini menimpa pada dirinya, kawan kawan Rektor senyum dan terdiam. Suasana menjadi hening seolah para Rektor dibuatnya terkesima. Melihat semua rekan- rekan Rektor terdiam, Yudian pun menegurnya, “he !. he !.. rektor kenapa kalian diam”. ? ” Dengerin ni…dengerin ni, percaya tidak” ? . ” Kelak saya akan menjadi menteri dan yang memfitnah saya bakal berjatuhan”. “Gerrrr ” !!!. Para Rektor tertawa. Suasana pecah menjadi ramai kembali.

IV

Di ruang terpisah para Rektor menikmati muntahan cerita Yudian dengan komentar-komentar variatif. Ada yang berkomentar Yudian lucu. Ada juga yang mengatakan Yudian temperamental dan terlalu percaya diri. Tapi sisi positif diungkapan juga oleh sebagian Rektor, Yudian adalah sosok intelektual terbuka dan apa yang diceritakannya itu bentuk sepontanitas yang benar dan tidak dibuat-buat. Sebagai guru besar yang memperdalami metode Filsafat Hukum Islam, menerut mereka, tidak mungkin Yudian mengingkari amanah keilmuannya.

Saya sendiri mengenal Yudian lima belas tahun yang lalu saat ia menyempatkan diri mampir di asrama Pascasarjana UIN Syahid Jakarta .Di asrama inilah saya menyaksikan, sejak dahulu karakter Yudian memang menyukai diskusi di bidang keilmuannya. Ia bersemangat cerita – cerita terbuka dan kerap meletup pernyataan aneh yang memecah suasana audien ramai dan terkesima.

“Yudian benar fenomenal dan terkadang temperamntal. Ia tegas dan teguh memegang prinsip “. “Tak seorang pun bisa menggoyangnya bila menurut pertahanan rasional dan teori-teori keilmuannya sdh ditempuh dengan jalan sistimatis” . Catus teman-teman dekatnya. Oleh karena itu, tidak sedikit teman-teman dekatnya yang punya memori cerita tentang Yudian pernah bertengkar sesama teman mahasiswanya selama kuliah luar negeri. Bahkn saat menjadi Dekan dan Deputi Bidang Kesra Yudian bertengkar dengan bawahan/teman sejawatnya lantaran teguh dan tegas di atas perinsipnya.

Terlepas dari sisi kelebihan dan kelemahan. Hemat saya , siapa pun tokoh adalah manusia biasa. Suka atau tidak suka, pasti diungkap sisi ketidak sempurnaannya. Faktanya apa yang diungkapkan Yudian kelak menjadi menteri , kini ia benar-benar dibuktikan menjadi pejabat setingkat menteri dan dilantik Persiden Jokowi sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ( BPIP).

Baru beberapa hari saja Yudian dilantik Kepala BPIP, pernyataan fenomenalnya nyeplos kembali dengan mengusung pemikiran kontroversial, ” Pancasila musuh terbesar agama dan Konstitusi di atas kitab suci”   Pernyataan ini sepontan mengundang kehebohan publik. Pro kontra dan menuai protes dari berbagai segmen baik dari tokoh agama, akademisi, politisi dan ormas. Bahkan tokoh MUI menuntut keras agar Yudian dibina atau dibinasakan dari Kepala BPIP. Kongres Umat Islam di belitung salah satu poin sidang pelenonya menuntut pembubaran BPIP.

 Menyikapi pro kontra dan protes publik, Yudian kelihatan tidak bergeming sedikit pun. Di waktu yang berbeda ia malah mengeluarkan statmen pemikiran barunya yang jauh makin kontroversial. Barangkali inilah karena ia teguh di atas prinsip disiplin keilmuannya di bidang filsafat hukum Islam. Dalam bukunya Maqashid Syari’ah Dalam Pergumulan Politik : Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga, yudian mengagas perlunya menerapkan nilai- nilai hukum ilahiah ke dalam kehidupan yang nyata melalui penegakkan teori maqashid syariah (tujuan hukum Islam).Tujuannya untuk kemaslahatan /kebahagiaan kehidupan di dunia dan di akhirat.

Tujuan hukum itu terdiri dari pertama, aspek daruriyyat/segala keniscayaan yaitu suatu yang harus ada demi melangsungkan kehidupan manusia, yang apabila tidak terwujud akan mengalami kehancuran. Tujuannnya untuk memelihara agama, jiwa, akal, harta, keturunan dan harga diri. Contohnya demi menyelamatkan nyawa, al-Quran memerintahkan makan tapi, tidak boleh berlebihan.

Kedua, aspek hajiyat yaitu segala kebutuhan. Dengan kata lain, suatu kebutuhan demi kelangsungan kehidupan manusia. Apabila sesuatu itu tidak ada tidak akan mengalami kehancuran, tapi menjerat segenap kesulitan. Contohnya untuk belajar ke kampus membutuhkan kendaraan. Tanpa kendaraan manusia masih bisa belajar ke kampus. Tapi kendaraan memudahkan proses belajar ke kampus.

 Ketiga, tahsiniyat yaitu suatu peroses untuk memperindah kehidupan seperti keindahan rumah dan seni membangunnya. Ketiadaannya tidak akan menghancurkan tujuan daruri tapi memperindah proses pencapaian tujuan daruri.

 Tujuan hukum/maqashid syariah ini, menurut Yudian , amat disayangkan sebatas menjadi wacana metode . Padahal kelahiran metode ini sejak masa Umar bin Khatab, al- juwaeni, al- Ghozali dan diperdalam lebih luas oleh Satibi dalam kitabnya Al- muwafaqat. Yudian menggagas perlunya tujuan hukum ini diterapkan dalam segala lapangan kehidupan termasuk upaya merumuskan ideologi dan konstitusi negara. Di sinilah sesungguhnya backround posisi pemikiran Yudian di saat melontarkan pendapatnya tentang agama musuh terbesar pancasila dan konstitusi di atas kitab suci.

Spirit Yudian dari pernyataan yang menghebohkan itu terkandung maksud agar pancasila maupun konstitusi tidak menjadi kepentingan agama kaum radikal yang merasa mayoritas. Indonesia merupakan negara yang sejak berdirinya sangat komplek, beragam agama dan budaya sangat rawan dan rentan konflik yang menjurus perpecahan. Janganlah agama kaum radikal mengusung agama sebagai musuh terbesar pancasila.

Kondisi ini bila dibiarkan, tagas Yudian, Indonesia dari sisi agama/ideologi ( حفظ الدين), nyawa/SDM (حفظ النفس), tanah air dan aset ekonomi (حفظ المال) akan terjadi kehancuran. Oleh karena itu, menurut Yudian, rumusan ideologi pancasila dan konstitusi Indosnesia berdasarkan maqasid syariah(tujuan hukum berdasarkan kemaslhtan bangsa) sudah diterapkan dengan arif oleh para tokoh bangsa dan para ulama/ pemuka agama.

Dalam makalah berjudul Islam dan Nasionalisme : Sebuah Pendekatan Maqashid Syari’ah yang dipresantiskan di acara Diesnatalis yang ke 55 di UIN Kalijaga, Yudian menganalogikan pemikiran Hatta dengan Kamal Attatruk di Turki, Maulana Abdul Kalam Azad di India dan Allal al-Fasi di Maroko. Attatruk dalam kondisi Turki dilematis anatara kejayaan Otoman yang telah jatuh /kalah perang pada perang dunia I di satu sisi. Konspirasi orang-orang Arab dengan Inggris menggebugi Ottoman di sisi lain. Membuat Turki makin terjepit dibanding kekuasaan ottoman yang dahlu digjaya menguasai belahan banyak wilayah. Turki kini dikepung dengan barat/Inggris. Semntara skisma antara Arab dan non Arab makin mencolok. Turki memasuki wilayah konflik antara sesama kepentingan daruri ( تعارض الضروريات).

Dalam kondisi terparah ini , demi menyelamatkan jiwa/ nafs, aset ekonomi dan tanah air/ mal, agama/din dalm arti ornamental tahsini( agama secara pribadi) tidak mengalami kehancuran (درأ المفاسد), demikian Yudian, Attaturk melakukan ijtihad berdasarkan maqashid syariah dengan membubarkan sistem khilafah menuju ke sistem nasionalisme yang menjamin hidup insani ( berdampingan dengan seluruh tatanan kemaslahatan kemanusiaan secara harmoni).

Strategi yang sama dilakukan oleh Azad di India dan Alal al-Fasi di Maroko yang memilih nasionalisme dari pada mendukung pan Islamisme dan hilafahisme.   Di Indonesia, Hatta melakukan hal yang sama demi nasionalisme, ia melepaskan terminologi Islam dalam konstitusi. Kata muqaddimah diganti dengan pembukaan. Tujuh kata dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluknya diganti ” berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 6 ayat 7, “Presiden orang Indonesia asli dan beragama Islam”. Kata-kata beragama Islam dicoret.

Kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa dihadirkan Hatta guna mengadopsi nilai religius dan menentang kehadiran komunisme. Hatta tidak pobi terhadap Islam. Ia menangkp subtansinya bukan gincu atau simboliknya. Hatta ingin indonesia bersatu dalam keragaman komunitas agama-agama . Di sini Hatta, menurut Yudian, berijtihad demi menyelamatkan dari perpecahan bangsa krena dari Indonesia Timur menolak dan ingin berpisah dari Indonesia apabila syariat Islam dicantumkn dalam konstitusi.

Dalam bahasa maqoshid syariah, Hatta berijtihad dalam upaya menyelamatkan dan menjaga agama, nyawa bangsa, mal/ aset/ tanah air, keturunanan dan martabat dari kehancuran. Dengan kata lain Hatta membangun nasionalisme religius untuk bersama dan bersatu melawan penjajahan dan penindasan kolonial Belanda. Dalam kontek ini, ulas Yudian, ijtihad Hatta hampir sama dengan Attatruk. Bedanya Attatruk membangun negara nasionali sekuler. Hatta membangun negara rebublik dan nasionalisme religius.

Bertolak dari kerangka berfikir maqashid syariah serta contoh penerapannya yang relatif sukses dilakukn oleh para negarawan di atas. Yudian berpendapat bahwa dialog antar umat beragama hukumnya wajib. Pendapt ini diperkuat dengan menambahkan pandangan dan argumen para pemikir besar Islam Hasan Hanafi, Al jabiri dan Nurcholish Madjid.

Dalam dialog interfaith di Universitas Harvard Law School , seperti dijelaskan dalam bukunya Jihad Ilmiah Dua: Dari Harvard ke Yale dan Princeton, Yudian mempresentasikan makalah dengan judul Interfaith Dialoge from the Perspective of Islamic Law. Dalam tulisannya Yudian tampak sependapat dengan pemikiran Hasan Hanafi , al- Jabiri dan Cak Nur yang mengagas perlunnya ijma antara ulma islam dengan semua tokoh non muslim sepeti Yahudi, Nasrani, Kaum liberal, maupun buda, hudu dan konghucu untuk membangun persoalan kebangsaan.. Bahkah Hasan Hanafi membolehkan ijma dengan kaum marxisme.

Pada umumnya para pemikir pembaharu islam itu berargumen bahwa dihalalkannnya berijma dengan mereka dalam urusan kebangsaan, kerena mereka kaum beragama bukan the other ( orang lain) melainkan saudara se-Tuhan dan saudara sebangsa. Yudian kelihatannya sepakat dengan para pemikir tersebut karena semua komunitas agama, sosial, dan aliran– kecuali marxisme tidak ada di Indonesia–karena mereka umat beragama yang sangat berjasa bersama-sama melawan penjajahan dalm merebut krmerdekaan negaranya masing-masing. Yudian juga sepakat dengan Cak Nur menambahkan ijma deng otoritas sederajat seperti dengan lembaga DPR. Semua itu terwujud di atas landasan maqasidu syariah demi terwujudnya kemaslhatan bangsa dan menghindari kehancuran.

Dari uraian ini  memperlihatkan Yudian merupakan sosok intelktual yang teguh dalam mempertahankan pendirian pemikirannya berdasarkan disiplin ilmunya, filsafat hukum islam ( maqasid syari’ah) . Ia tipe fenomenal yang tidak mudah dipatahkan oleh siapa pun. Ia tegas, “ngotot” bahkan terkesan sedikit “temperamental”. Tapi di balik sikapnya itu, yudian memiliki keperibadian humen, bertanggung jawab dalam tugas,  penolong dan mudah tersentuh untuk membangun empati sosial.

Namun,  dalam kontek Yudian sebagai pejabat publik, tentu argumen maqasid syariah harus diterapkan juga dalam membangun diksi yang arif dan menyejukkan  ketika melahirkan statmennya di tengah publik. Alangkah ironisnya bila misi teori maqasid syariahnya itu justru mengundang kehebohan dan keresahan sosial.

Akhirnya, sebagai teman dekat, saya ucapkan selamat buat  Prof Yudian di tugas dan amanahnya yang baru. Moga bersama keluarga tetap sehat.  Diharapkan dengan amanah yang barunya sebagai Kepala BPIP selalu  diberikan kemudahan dalam bekerja dan melahirkan inovasi dan gagasan progresifnya demi membangun harmoni, kedamaian dan persatuan bangsa. Amien.


Sebuah artikel opini yang ditulis oleh Fauzul Iman, Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi Aje https://klikanggaran.com/opini/yudian-wahyudi-intelektual-ptkin-fenomenal-yang-saya-kenal.html

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Yudian Wahyudi: Intelektual Ptkin Fenomenal yang Saya Kenal - Klikanggaran"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.